Pembahasan Politik Dalam Islam - Sejarah Perkembangan Politik Islam

December 12, 2018
Assalamualaikum, berikut saya akan membahas sedikit tentang Pembahasan Politik Dalam Islam - Sejarah Perkembangan Politik Islam.

Pengertian Politik Islam

Politik erat kaitannya dengan pemerintah dan kekuasaan. Pemerintahan dalam terminology Islam adaalah al hukmu. Al hukmu sendiri sebenarnya memiliki dua arti, yang pertama adalah al Qadla’ (keputusan) dan yang kedua bermakna al Mulku dan as Sulthan yaitu kekuasaan yang melaksanakan hukum atau aturan. Dari makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas kepemimpinan adalah kekuasaan yang digunakan untuk menjaga terjadinya tindak kedzaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan.



Pada mulanya,  bentuk kekuasaan itu hanya berupa konsep territorial politik religus yang memetakan diri pada dua wilayah yaitu dar al harb (daerah musuh) dan dar al islam (daerah islam). Semua daerah dar al islam terinstitusionalisasi menjadi sebuah Negara yang berbentuk berdassarkan dasar keimanan dnegan satu otoritas sentral. Akan tetapi ketika  bentuk Negara sebagai satuan system politik melanda dunia islam, lahirlah ketegangan historis konseptual mengenai hubungan islam dan politik.  Kelahiran bangsa-bangsa yang keberadaanya didasarkan pada kriteria etnisitas, budaya dan wilayah serta bermuara pada nasionalisme diakui telah mengambil alih posisi religius sebagai identitas perekat suatu bangsa.

Dalam islam, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist, berdirinya Negara itu didasarkan pada lima hal yaitu pertama untuk menghindari kejadian eksploitasi antara manusia, antar kelompok dan antar kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga Negara dan melindungi seluruh seluruh warga Negara dari invasi asing. Ketiga, untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaimana yang diehendaki Al-Qur’an. Keempat, untuk memberantas semua jenis kejahatan dan mendorong kearah kebajikan sebagaiman yang telah diterangkandengan tegas dalam Al-Qur’an. Kelima, menjadikan Negara tersebut sebagai tempat yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga Negara denagn jalan memberlakukan hokum tanpa adanya diskriminasi.

Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan rumah kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. la bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menerajui dan melaksanakan undang undang. 

Prinsip – Prinsip Dasar Politik (Siyasah) Islam  


Dari Al-Qur’an maupun pengalaman bernegara tersebut terdapat beberapa prinsip yang hendaknya dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kehidupan bermasyarakat.  Beberapa prinsip tersebut adalah:
  1. Bermusyawarah sebagaimana yang ada dalam as Syara ayat 36, ia bukan hanya merupakan salah satu unsur dari beberapa unsur yang dijadikan sebagai pijakan bernegara tetapi dalam beberapa sumber dikatakan, bahwa prinsip musyawarah harus diletakkan diatas semua prinsip-prinsip konstitusional Islam yang lain.
  2. Prinsip kekuassaan sebagai amanah.
  3. Prinsip keadilan.
  4. Prinsip kesamaan.
  5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
  6. Prinsip kesejahteraan.
  7. Prinsip ketaatan masyarakat.


Etika Politik Islam 

Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah.Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahita’ala. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Adapun beberapa prinsip etika politik dalam perspektif Islam yaitu meliputi:


1. Kekuasaan sebagai Amanah

Prinsip amanah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nissaa 58:
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada orang  yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum-hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Islam secara tegas melarang terhadap para pemegang kekuasaan agar tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Sebab apapun yang dilakukan oleh seorang penguasa atau pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah. 

2. Musyawarah

Prinsip secara musyawarah dalam Al-Qur’an tercantum dengan jelas dalam surat As-Syura 38:
Dan ( bagi)orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Pentingnya musyawarah dalam Islam adalah upaya untuk mencari sebuah pandangan objektif dalam sebuah perkara, sehingga pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara bulat atau dengan resiko yang relatif kecil.

Dalam tradisi Islam, dikenal juga upaya pengambilan keputusan secara bersama-sama dan berdasarkan suara terbanyak,cara ini disebut dengan Ijma’. Sebagai bagian dari upaya musyawarah dalam ajaran Islam yang dipentingkan adalah adanya jiwa persaudaraan ataupun keputusan yang didasarkan atas pertimbangan nurani dan akal sehat secara bertanggungjawab terhadap suatu masalah yang menyangkut kemaslahatan bersama dan bukan atas pertimbangan sesaat. dalam musyawarah hanya dilakukan untuk hal-hal kebaikan (ma’ruf) dan Islam melarang pengambilan keputusan untuk hal-hal yang buruk (mungkar). Sehingga pengambilan suatu keputusan dalam musyawarah didalam ajaran Islam berkaitan dengan prinsip “amarma’rufnahimunkar” (menyuruh pada kebaikan dan melarang pada keburukan).

3. Keadilan Sosial

Islam mengarkan untuk menegakkan keadilan terhadap sesama manusia. Islam tidak menghendaki  bahwa dunia beserta isinya hanya dimiliki oleh orang-orang yang kuat, sementara mereka yang lemah tidak mendapatkan apa-apa. Diantara seruan Allah tentang keadilan ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah 8:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi  saksi dengan  adil.  Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikap adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya  Allah  sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.

Etika Islam tentang keadilan adalah perintah untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggungjawab, dan berlaku ataupun bertindak sesuai dengan kontrak sosial hingga terwujud keharmonisan dan keadilan hidup.

4. Ketaatan Rakyat 

Dalam hal ini ketaatan rakyat terhadap pemerintahan bersifat wajib selama ketaatan itu menuju pada kebenaran. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka rakyat berhak untuk mengkritik setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa agar kembali pada jalur kebenaran. Firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (Q:S An-Nisaa 59).

Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya posisi rakyat sangat berkuasa. Rakyat adalah pemegang kedaulatan atas sebuah sistem pemerintahan. Pemerintahan yang berjalan diatas sistem yang tidak dikehendaki rakyat boleh ditentang dan dilawan. Membiarkannya berarti telah membiarkan kezaliman hidup dimuka bumi. Dan itu dilarang keras dalam Islam.


Sejarah Perkembangan Politik Islam

a. Masa Rasulullah

Hubungan antara agama dan politik pada zaman Nabi Muhammad terwujud dalam masyarakat Madinah. Nabi Muhammad selama sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai penerima berita suci dan seorang pemimpin masyarakat politik. Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang yang tidak boleh dibantah karena mengemban mandat. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai kepala Negara, beliau melakukan musyawarah – sesuai dengan perintah Tuhan – yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapatnya sendiri.

Sejarah mencatat bahwa kota hijrah nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur  dan dihuni oleh orang-orang pagan dari suku utama Aus dan Khazraj, dan juga orang-orang yahudi dari suku-suku utama bani Nadzir, Bani Qoinuqo, Bani Quraizhah. Kota ini awalnya adalah bernama Yatsrib lalu diubah oleh nabi menjadi Madinah. Madinah yang digunakan oleh Nabi untuk menukar nama kota hijrah beliau itu kita menangkapnya sebagai isyarat langsung bahwa ditempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat yang teratur sebagaimana sebuah masyarakat. 

Jika menganalisis sejarah, system pemerintahan yang dibentuk oleh nabi Muhammad adalah bercorak system Teodemokratis, disatu sisi tatanan masyarakat harus berdasarkan pada hukum-hukum yang mana hukum tersebut berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan dalam menyikapi setiap peristiwa waktu itu. Disisi lain bentuk pemerintahan dan tatanan social dirumuskan lewat proses musyawarah yang dilakukan secara bersama suku-suku yang ada dalam masyarakat Madinah. Bila dikontekskan dengan system pemerintahan sekarang, bentuk struktur tatanan pemerintahan terdiri dari Eksekutiv, yudikatif dan legislative. Eksekutiv dimana kepala pemerintahan dipegang oleh Nabi Muhammad, begitupun dalam mahkamah  konstitusi dan hukum semua ditentukan oleh Nabi sebagai pengambil kebijakan selain dalam masalah menentukan bentuk tatanan masyarakat yang menyangkut pluralitas warga Negara Madinah. Dalam ranah legislativ, setiap suku yang ada di Madinah mempunyai persamaan hak dalam menyampaikan pendapat dalam menentukan tatanan social masyarakat seperti dalam menciptakan konstitusi Piagam Madinah.   


Dalam membiayai pemerintahan nabi mengambil zakat (zakat fitrah dan zakat maal) untuk umat muslim, serta mengambil Jizyah dari non muslim yang ada dalam masyarakat Madinah. Selain lewat militer, konsolidasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi juga menggunakan diplomasi dan lewat perkawinan politik, Sebagai pusat pemerintahan Nabi menggunakan masjid sebagai ruang publik. Pada awalnya masjid adalah bangunan yang mengekspresikan cita-cita awal Islam. 

Nabi Muhammad mempraktikkan Demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahannya akan selal berpedoman pada Al Qur’an dalam memutuskan sesuatu. Akan tetapi apabila ada perkara yang belum diatur dalam Al Qur’an tidak jarang Nabi mengajak Musyawarah sahabat-sahabatnya. Tentu saja kalau kita kaitkan dengan konteks Negara modern yang jauh lebih kompleks seperti sekarang, proses musyawarah yang dijalankan pada zaman Nabi sebenarnya secara secara substantive tidak berbeda dengan dengan apa yang diperlihatkan dengan proses politik sekarang, yaitu apa yang kita kenal dengan representative democracy, karena kita juga memahami bahwa Nabi dalam melakukan musyawarah tidak melibatkan segenap warga masyarakat yang telah memiliki “political franchise”, akan tetapi musyawarah yang melibatkan para sahabat yang tentu saja sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat.

b. Di Indonesia

Untuk mewujudkan cita cita itu memerlukan perjuangan dan perjalanan  yang panjang. Ini telah dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sebab disadari  sekali bahwa perjuangan melawan segala bentuk kezaliman merupakan suatu hal  yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Prinsip ini diyakini benar oleh umat Islam sehingga jika tidak dilaksanakan atau tidak tercapai maka mustahil  pelaksanaan ajaran Islam secara benar akan dapat diterapkan dengan baik. Oleh karena itu sangat wajar sekali bila dikatakan umat Islam Indonesia dikenal sebagai  penantang-penantang gigih terhadap segala bentuk imperialisme. 

Para pemimpin umat Islam yang tergabung dalam berbagai partai politik  membangun semangat kebangsaan yang tetap dilandasi benang merah Islam. Sebagai suatu bangsa yang majemuk bukan hanya dalam bentuk  perbedaan suku dan adat namun yang lebih serius adalah pada dataran perbedaan  keyakinan dan agama tentu menimbulkan berbagai perbedaan kehendak dalam  mewarnai bangsa dan negara ini. Akibatnya yang tidak dapat dihindarkan tentu  munculnya berbagai pergumulan antara sesama anak bangsa yang dilatarbelakangi  perbedaan agama. Bagi umat Islam, negara yang ingin dibentuk tentu berdasarkan  ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam konstitusi negara.  Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh para pemimpin Islam di Indonesia  yang pertama ketika menjelang proklamasi dan yang kedua pada masa  kemerdekaan. 

Berakhirnya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan  Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para pemimpin  bangsa bekerja keras untuk menata dan memberikan wajah baru bagi Republik ini. 

Isu yang paling asasi ialah menetapkan Dasar Negara. Islam yang dianut oleh  mayoritas penduduk Indonesia melalui para pemimpin berupaya konsisten  terhadap identitas mereka dengan memperjuangkan agar nilai-nilai Islam  termaktub dalam konstitusi negara.  

Berawal dari perjuangan gigih dalam panitia sembilan yang diketuai oleh Soekarno dengan melahirkan “Piagam Jakarta” yang ditandatangani pada tanggal  22 Juni 1945. Isu ini mencapai klimaksnya dalam perdebatan di Majelis  Konstituante hasil pemilu I tahun 1955. Inilah yang tentunya dapat dianggap  sebagai diskripsi fakta sejarah bangsa Indonesia khusunya umat Islam, yang membentuk trend politik Islam yang terus berkembang dalam perjalanan sejarah perpolitikan bangsa Indonesia sampai dewasa ini. 

Semoga dapat bermanfaat dan mohon maaf apabila ada kesalahan. Karena sesungguhnya saya adaalh tempat salah dan dosa.

Wassalamualaikum wr. wb

Sumber :
Dony Burhan Noor Hasan, Lc., MA , Pendidikan Agama Islam, (tempat : Pustaka Radja ,2011), hlm. 87
Ajid Thorir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers , 2004) , hlm.3
Dony Burhan Noor Hasan, Lc., MA , Pendidikan Agama Islam, (tempat : Pustaka Radja ,2011), hlm. 88
Baasir Faisal , Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim.( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 2003).
dan lain-lain.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »